Oleh: Muh. Nurfajrin
Kusampaikan padamu wahai Ibu. Bocah rindu menari di pangkuanmu. Hempasan luka merana dalam tirai malam. Sunyi menggalau desiran ombak menganga. Tebarkan sayap senyuman di pucuk angin mammiri. Aku ingin bersama Ibu. Aku ingin memeluk Ibu. Teratai tumbuh dengan kelopaknya. Aku sangat merindukan Ibu. Gumpulan melekat kasih sayangmu. Butiran-butiran cinta merangkai dalam satu lukisan harumkan bunga-bunga dalam mutiara senja. Agungkan rasa kelopak cinta selami dengan rindu. Aku rindu pelukan Ibu. Aku ingin membawamu ke taman surga. Menyulam kisah hingga tak pudar lagi. Aku ingin menepis semua itu. Sungguh dia adalah ibu.
Percik fajar menampar mega menerawan jauh hingga ke sela jemari langit. Sentakan nafas terurai meraba ilalang melukis sajak nurani. Kian terbangun dalam songgahan relung mimpi yang menjamah detak jantung dinding triplek yang berwarna kebiruan-biruan, sehingga aku berpikir bercumbu dengan suara Tuhanku. “Aku heran apa yang harus kuperbuat?” Lelap mulai redup menjadi segumpal cahaya yang membius jagad raya. Merangkai bunga walaupun hanya di taman-taman langit yang kian membisu. Tiupan angin sepoi menggigil di tangkai kupingku untuk menyelami salam rindu ayah dan ibuku. Aku memikirkan itu dan terus mencerna di antara simbo-simbol. Setetes air itu telah tercipta dan terlahir menjadi daging dalam bentuk yang seksama. Sungguh Tuhan itu Maha Pencipta. Seruan tangisan menggema dan menanti. Betapa syukurnya aku dilahirkan dengan raut senyuman ayah yang berjuang meneteskan darah dan keringatnya. Kini aku telah menjadi anak yang berumur 12 tahun dan duduk di sebuah sekolah Madrasah Tsanawiyah di daerahku. Aku mulai memikirkan itu dan melihat betapa sulitnya mencari makan dalam kehidupan keluarga yang ekonominya begitu minim. Aku sangat tertampar dengan seruan tangis dan keringat sehingga mampu bertindak sebagaimana seharusnya anak yang patuh tehadap orang tua dan membahagiakannya. Balok yang berukuran 17 centimeter yang tersusun sedemikian rupa menjadi batang pendapatan dan penghasilan bagi keluarga kami.
Hempasan langit yang kian mengguncang kini menjadi spirit untuk meratapi lamunan hingga menyulap seribu warna dalam pelangi senja. Aku bangkit mengeja langkah menuju kamar mandi dan mengambil air wudhu. Membasuh wajah, tangan, dan kakiku. Warna keputih-putihan menutupi kaki hingga ke pusar dengan memakai baju koko. Bertasbih kepada Tuhan dan berdoa dengan hati yang ikhlas. Memujanya sampai kapanpun. Melihat dari lorong-lorong jendela kamarku. Mendengar lantunan lagu religi dengan nada yang syahdu sambil menyalakan api di jemari-jemari kanvas kompor yang mungil itu. Aku juga melihat ibu mengambil panci yang berisikan beras untuk dikukusnya. Akupun bergegas menuju ke tempat di mana ayah dan ibu bersimpuh pada pagi buta dengan suasana sunyi yang mencekam menanti matahari terbit. “Biarkan aku menyentuh api kecil itu” kataku. Namun ayah secara tidak langsung melarangku melakukan pekerjaan yang bisa saja menjadi pekerjaanku. “Nak, sudahkah kamu menyentuh air wudhu untuk shalat subuh?” “Sudah Ayah” jawabku. Setelah beberapa menit, aku, ayah, dan ibu menuju meja makan kami yang mungil. Kami sekeluarga menikmati masakan ala aku, ayah, dan ibu dengan wajah gembira nan bahagia.
Waktu terus berganti menuju pukul 07:15. Aku dan adik-adikku bergegas berangkat ke sekolah masing-masing dengan telapak kaki yang dibungkus plastik yang sudah jadi. Seperti biasa, aku dan adik-adikku hanya berjalan kaki ke sekolah. Sementara ayah dan ibu pun berangkat ke tempat kerja di mana orang tuaku menghasilkan uang walaupun penghasilannya terkadang tidak menentu. Tergantung sedikit banyaknya pelanggan yang masuk ke warung ayah. Sop Saudara berfantasikan menu makanan khas Pangkep dan Bantaeng ada di warung makan kami. “Sop Saudara, Ikan Bakar, Coto Kuda, dan Konro Kuda”.
Sepulang dari sekolah biasanya aku selalu mampir ke warung ibu dan ayahku. Jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolahku. Sebagai anak yang patuh terhadap orang tua, aku selalu membantu perkejaan ayah dan ibu di warung. Banyak pekerjaan yang mesti dikerjakan di warung atau rumah makan kami. Pekerjaan yang mesti kukerjakan beraneka ragam. Mulai dari membakar ikan, cuci piring, membersihkan, dan menyiapkan kebutuhan-kebutuhan untuk pelanggan. Bukan cuma saya, tetapi adik-adik dan kakakku biasanya ke warung milik keluarga kami untuk membantu orang tua kami. Dan saat-saat itulah yang sangat membahagiakan bagi orang tua kami.
Putaran roda bumi yang cepat menghiasi langit begitu indah. Rautan matahari dan bulan pun tampak tersenyum dengan suara angin yang menderu. Gitar yang berkelopakkan Osmond 315 YF pun menggema di teras rumahku. Melagukan tembang berjudul “IBU” milik salah satu musisi legendaris Indonesia, Iwan Fals. Aku pun mulai mengingat jasa-jasa ayah dan ibu dari lagu tersebut. Tak terasa air mataku jatuh mengenang jika suatu saat nanti ayah dan ibu meninggalkan aku di alam yang penuh tipuan ini.
Malam mencekam. Langkah begitu cepat berlari. Dengan tiupan angin sepoi dan warna-warni kehidupan yang terus berganti, berjuta lika-liku pun terlewati. Umurku kini telah menginjak 19 tahun. Setelah lulus dari sekolah menengah atas, aku bangkit dan memikirkan ke mana lagi harus kulanjutkan pendidikan ini. Tiba-tiba ibuku demam tinggi dan batuk-batuk. Aku sempat khawatir melihat keadaan ibu saat itu. “Tuhan, tolong berikan jalan bagi keluarga kami. Berikan keajaiban untuk menyembuhkan ibuku yang terbaring sakit”. Aku bergegas bangkit dan mengambil uang di saku celanaku dan pergi ke apotik untuk membelikan obat untuk ibuku. Kakak dan adikku membagi pekerjaan. Ada yang membuat bubur dan satunya lagi mencari daun sirsak sebagai obat penangkal roh-roh jahat atau suruh-suruhan orang yang iri terhadap keluarga kami.
Setiba di rumah, aku cepat-cepat menuju ke dapur mengambil segelas air putih dan kuletakkan di samping tempat tidur ibu. “Cepat ambilkan bubur yang dimasak kakakmu untuk ibu di dapur” kata ayah. Belum sempat aku berdiri dari tempat ibu terbaring, tiba-tiba ibu memegang tanganku. “Nak, ibu senang karena kau menjadi anak yang berbakti. Ternyata ibu tidak sia-sia melahirkan dan membesarkan kalian hingga bisa membuat ibu bahagia sepenuhnya”. Aku ingin meneteskan air mata mendengar kalimat yang dilontarkan ibu padaku.
Hembusan angin dan rangkaian warna senyuman dihiasi bintang-bintang kecil warnai malam itu. Ibu sudah terlelap. Ayah yang lagi tertidur pulas. Kakak dan adik pun telah menggapai mimpinya. Tapi aku belum juga bisa memejamkan mataku. Aku duduk dan memandangi langit. Betapa besar kuasa Tuhan menciptakan dunia ini. Hanya selebar daun kelor dan miliyaran. Bahkan, tak bisa terhitungkan nyawa yang ada di muka bumi ini, termasuk keluarga kami. Songgahan ranting warna kehidupan kami yang begitu banyak dihinggapi masalah. Namun, itu semua bisa terselesaikan dengan kesabaran dan iringan doa kami.
Keesokan harinya, suara kicauan burung terdengar di relung-relung dan tiap sudut kampungku. Aku bangkit dari tempat tidur dan langsung menuju ke pembaringan ibu untuk melihat keadannya. Aku kaget. Aku tidak mendapati ibu di atas tempat tidurnya. Aku berlari keluar menuju dapur. Di sana, aku melihat ibu sedang menyiapkan makanan. Akupun mendekati ibu dan berkata “Ibu belum bisa bekerja. Ibu belum pulih sepenuhnya” ibupun menjawab “Nak, ini berkat doa yang kalian panjatkan itu terdengar oleh Tuhan Yang Maha Esa”. Aku menjawab, “Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah karena ibuku telah sehat kembali”. Kakak, adik dan ayah juga bersyukur atas kesembuhan ibu.
***
Hujan deras kian mengguyur kota kami. Berselang satu minggu berjalan, terlintaslah dalam benakku pertanyaan-pertanyaan yang belum mampu kujawab. Pertanyaan yang kini menggorogoti pikiranku. “Ke mana aku melanjutkan pendidikanku? Dan....., sanggupkah orang tuaku membiayai kuliahku kelak? Sementara adik-adikku pun harus tetap melanjutkan pendidikannya. Ya Allah, tolonglah hamba-Mu ini!” Namun tekadku tetap bulat. Aku sendiri yang harus menjawab pertayaan-pertanyaan itu dengan kesungguhan dan niat yang tulus.
Seruan adzan maghrib berkumandan dari beberapa mesjid dekat rumahku. Hampir bersamaan. Kami sekeluarga melaksanakan shalat maghrib secara berjamaah yang memang telah menjadi rutinitas dalam keluarga kami. Seusai mendirikan shalat maghrib dengan iringan doa yang dilantunkan untuk keselamatan keluarga kami. Aku dan saudaraku yang lain bersalam-salaman dengan ayah dan ibu. Meneriakkan suasana kebahagiaan dengan lemparan-lemparan senyuman manis. Akupun mendekati ibu dan mengutarakan keinginanku untuk melanjutkan pendidikan. “Bu, aku ingin kuliah. Sudah dua tahun setengah aku menganggur. Mungkin sudah saatnya aku melanjutkan pendidikanku. Itupun kalau ibu mempunyai kesanggupan membiayai kuliahku”. Dengan sedikit senyum menawan yang disunggingkan ibu padaku, aku yakin ibu pasti mengizinkan aku mendaftar di perguruan tinggi tahun ini. “Ia nak. Ibu sangat bangga kalau kamu mau melanjutkan pendidikanmu. Ibu minta maaf kalau dulu sesudah tamat SMA, kau tidak sempat melanjutkan sekolahmu karena masih ada saudaramu yang ingin bersekolah. Jadi, dengan sangat terpaksa kamu harus menganggur. Dua setengah tahun ini ibu mengumpulkan uang untuk biaya sekolahmu dan adik-adikmu walaupun hasil penjualan ibu tidak terlalu banyak. Tetapi ibu yakin, itu bisa mencukupi kebutuhan dan uang belanja yang diperlukan di kemudian hari. Ibu hanya berpesan agar kamu bersungguh-sungguh belajar jika kelak kamu sudah duduk di bangku kuliah. Ya, sudah! Kamu cari informasi dulu, kapan ada pendaftaran mahasiswa baru sesuai dengan kemampuanmu dan jurusan yang cocok buat kamu, Nak” kata ibu sambil memegang pundakku. “Terima kasih banyak ibu. Kesempatan ini akan kumanfaatkan dengan sebaik-baiknya agar menjadi anak yang berguna untuk ayah dan ibu. Pesan ibu akan selalu kuingat” kataku dengan wajah yang berseri-seri dan air mata bahagia.
***
Langit cerah dengan warnanya yang biru begitu indah. Bentuk awan yang begitu sempurna kian mencolek di benakku. Hari ini, hari pertama pendaftaran mahasiswa baru di Universitas Muhammadiyah Makassar. Aku akan berangkat ke Makassar pagi-pagi. Aku berjalan menuju warung tempat ayah dan ibu bekerja.
“Bu! Hari ini pendaftaran mahasiswa di Unismuh sudah terbuka. Bagaimana bu?”
“Nak, kamu bisa berangkat ke Makassar hari ini juga. Ibu akan memberikan sedikit biaya untuk pendaftaran formulir dan urusan-urusan lainnya” kata ibu.
“Iya bu! Ayah, aku mohon doa restunya. Semoga langkah awal untuk melanjutkan sekolahku berjalan lancar dan baik”
“Iya!” Akupun pamit pada kedua orang tuaku. Aku berangkat dengan sebuah harapan untuk bisa kuliah.
Setelah menempuh perjalanan selama dua jam, akhirnya aku tiba di sebuah kampus yang dikenal dengan nama kampus biru. Di depan pintu gerbang tertulis jelas “Universita Muhammadiyah Makassar”. “Sebentar lagi aku akan menjadi mahasiswa di kampus ini” gumamku. Sinar matahari yang begitu terik membuat perutku bernyanyi dan meminta sesuap makanan. Tanpa mempedulikannya, aku langsung mencari tempat pengambilan formulir mahasiswa baru. “Aku lulus”.
***
Rentetan waktu terus berjalan dan kian mencekam. Suka duka kurasakan hidup di kampung orang. Aku harus menjalani hidup dengan tinggal di sebuah kost di jalan dr. Ratulangi dengan biaya hampir satu juta untuk menyewa satu kamar saja. Setiap hari aku harus menyiapkan makanan untuk sarapan pagi kemudian berangkat ke kampus menumpangi pete-pete. Dengan wajah yang sedikit kaget aku melihat ribuan mahasiswa dan mahasiswi telah memenuhi kampus. Lelah juga memulai menjadi mahasiswa. Bayangkan saja, rasa capek ditambah haus dan lapar datang menderu hanya untuk mengurus segala yang dipersiapkan untuk memasuki bangku perkuliahan.
Di hari pertama kuliah perdana, aku memasuki ruangan untuk Bahasa Indonesia kelas I E. Dari sinilah aku melihat suasana orang yang sedang kuliah. Tidak begitu berbeda dengan keadaan waktu masih sekolah dulu. Ternyata beginilah rasanya orang kuliah. Banyak juga teman-teman sekelas yang berasal dari daerah yang berbeda-beda. Hampir semuanya ramah-ramah. Meski masih ada yang cuek-cuek saja. Mungkin karena belum saling mengenal saja.
Saat ini aku hanya memikirkan satu hal saja. Melaksanakan pesan ibu yang diamanahkan padaku sebelum aku menginjakkan kaki di kampus ini. Kuliah dengan sungguh-sungguh agar kelak dapat berhasil dan lulus dengan sebuah prestasi. Aku ingin menjadi anak yang berguna bagi orang tua dan mampu membahagiakan keluarga. Membalas pahit manis pengorbanan orang tua dan keluargaku. Aku mencintai Tuhan. Aku mencintai kedua orang tuaku. Aku mencintai keluargaku. Aku mencintai kekasihku dan mencintai sahabat-sahabatku. ###
Makassar, 8 Februari 2010
Dipetik dari kumpulan Cerpen dan Puisi Enam Mata Badik (IPASS FKIP UNISMUH MAKASSAR)
Kamis, 21 April 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar