Kamis, 21 April 2011

Ibu

Oleh: Muh. Nurfajrin


Kusampaikan padamu wahai Ibu. Bocah rindu menari di pangkuanmu. Hempasan luka merana dalam tirai malam. Sunyi menggalau desiran ombak menganga. Tebarkan sayap senyuman di pucuk angin mammiri. Aku ingin bersama Ibu. Aku ingin memeluk Ibu. Teratai tumbuh dengan kelopaknya. Aku sangat merindukan Ibu. Gumpulan melekat kasih sayangmu. Butiran-butiran cinta merangkai dalam satu lukisan harumkan bunga-bunga dalam mutiara senja. Agungkan rasa kelopak cinta selami dengan rindu. Aku rindu pelukan Ibu. Aku ingin membawamu ke taman surga. Menyulam kisah hingga tak pudar lagi. Aku ingin menepis semua itu. Sungguh dia adalah ibu.

Percik fajar menampar mega menerawan jauh hingga ke sela jemari langit. Sentakan nafas terurai meraba ilalang melukis sajak nurani. Kian terbangun dalam songgahan relung mimpi yang menjamah detak jantung dinding triplek yang berwarna kebiruan-biruan, sehingga aku berpikir bercumbu dengan suara Tuhanku. “Aku heran apa yang harus kuperbuat?” Lelap mulai redup menjadi segumpal cahaya yang membius jagad raya. Merangkai bunga walaupun hanya di taman-taman langit yang kian membisu. Tiupan angin sepoi menggigil di tangkai kupingku untuk menyelami salam rindu ayah dan ibuku. Aku memikirkan itu dan terus mencerna di antara simbo-simbol. Setetes air itu telah tercipta dan terlahir menjadi daging dalam bentuk yang seksama. Sungguh Tuhan itu Maha Pencipta. Seruan tangisan menggema dan menanti. Betapa syukurnya aku dilahirkan dengan raut senyuman ayah yang berjuang meneteskan darah dan keringatnya. Kini aku telah menjadi anak yang berumur 12 tahun dan duduk di sebuah sekolah Madrasah Tsanawiyah di daerahku. Aku mulai memikirkan itu dan melihat betapa sulitnya mencari makan dalam kehidupan keluarga yang ekonominya begitu minim. Aku sangat tertampar dengan seruan tangis dan keringat sehingga mampu bertindak sebagaimana seharusnya anak yang patuh tehadap orang tua dan membahagiakannya. Balok yang berukuran 17 centimeter yang tersusun sedemikian rupa menjadi batang pendapatan dan penghasilan bagi keluarga kami.

Hempasan langit yang kian mengguncang kini menjadi spirit untuk meratapi lamunan hingga menyulap seribu warna dalam pelangi senja. Aku bangkit mengeja langkah menuju kamar mandi dan mengambil air wudhu. Membasuh wajah, tangan, dan kakiku. Warna keputih-putihan menutupi kaki hingga ke pusar dengan memakai baju koko. Bertasbih kepada Tuhan dan berdoa dengan hati yang ikhlas. Memujanya sampai kapanpun. Melihat dari lorong-lorong jendela kamarku. Mendengar lantunan lagu religi dengan nada yang syahdu sambil menyalakan api di jemari-jemari kanvas kompor yang mungil itu. Aku juga melihat ibu mengambil panci yang berisikan beras untuk dikukusnya. Akupun bergegas menuju ke tempat di mana ayah dan ibu bersimpuh pada pagi buta dengan suasana sunyi yang mencekam menanti matahari terbit. “Biarkan aku menyentuh api kecil itu” kataku. Namun ayah secara tidak langsung melarangku melakukan pekerjaan yang bisa saja menjadi pekerjaanku. “Nak, sudahkah kamu menyentuh air wudhu untuk shalat subuh?” “Sudah Ayah” jawabku. Setelah beberapa menit, aku, ayah, dan ibu menuju meja makan kami yang mungil. Kami sekeluarga menikmati masakan ala aku, ayah, dan ibu dengan wajah gembira nan bahagia.

Waktu terus berganti menuju pukul 07:15. Aku dan adik-adikku bergegas berangkat ke sekolah masing-masing dengan telapak kaki yang dibungkus plastik yang sudah jadi. Seperti biasa, aku dan adik-adikku hanya berjalan kaki ke sekolah. Sementara ayah dan ibu pun berangkat ke tempat kerja di mana orang tuaku menghasilkan uang walaupun penghasilannya terkadang tidak menentu. Tergantung sedikit banyaknya pelanggan yang masuk ke warung ayah. Sop Saudara berfantasikan menu makanan khas Pangkep dan Bantaeng ada di warung makan kami. “Sop Saudara, Ikan Bakar, Coto Kuda, dan Konro Kuda”.

Sepulang dari sekolah biasanya aku selalu mampir ke warung ibu dan ayahku. Jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolahku. Sebagai anak yang patuh terhadap orang tua, aku selalu membantu perkejaan ayah dan ibu di warung. Banyak pekerjaan yang mesti dikerjakan di warung atau rumah makan kami. Pekerjaan yang mesti kukerjakan beraneka ragam. Mulai dari membakar ikan, cuci piring, membersihkan, dan menyiapkan kebutuhan-kebutuhan untuk pelanggan. Bukan cuma saya, tetapi adik-adik dan kakakku biasanya ke warung milik keluarga kami untuk membantu orang tua kami. Dan saat-saat itulah yang sangat membahagiakan bagi orang tua kami.

Putaran roda bumi yang cepat menghiasi langit begitu indah. Rautan matahari dan bulan pun tampak tersenyum dengan suara angin yang menderu. Gitar yang berkelopakkan Osmond 315 YF pun menggema di teras rumahku. Melagukan tembang berjudul “IBU” milik salah satu musisi legendaris Indonesia, Iwan Fals. Aku pun mulai mengingat jasa-jasa ayah dan ibu dari lagu tersebut. Tak terasa air mataku jatuh mengenang jika suatu saat nanti ayah dan ibu meninggalkan aku di alam yang penuh tipuan ini.

Malam mencekam. Langkah begitu cepat berlari. Dengan tiupan angin sepoi dan warna-warni kehidupan yang terus berganti, berjuta lika-liku pun terlewati. Umurku kini telah menginjak 19 tahun. Setelah lulus dari sekolah menengah atas, aku bangkit dan memikirkan ke mana lagi harus kulanjutkan pendidikan ini. Tiba-tiba ibuku demam tinggi dan batuk-batuk. Aku sempat khawatir melihat keadaan ibu saat itu. “Tuhan, tolong berikan jalan bagi keluarga kami. Berikan keajaiban untuk menyembuhkan ibuku yang terbaring sakit”. Aku bergegas bangkit dan mengambil uang di saku celanaku dan pergi ke apotik untuk membelikan obat untuk ibuku. Kakak dan adikku membagi pekerjaan. Ada yang membuat bubur dan satunya lagi mencari daun sirsak sebagai obat penangkal roh-roh jahat atau suruh-suruhan orang yang iri terhadap keluarga kami.

Setiba di rumah, aku cepat-cepat menuju ke dapur mengambil segelas air putih dan kuletakkan di samping tempat tidur ibu. “Cepat ambilkan bubur yang dimasak kakakmu untuk ibu di dapur” kata ayah. Belum sempat aku berdiri dari tempat ibu terbaring, tiba-tiba ibu memegang tanganku. “Nak, ibu senang karena kau menjadi anak yang berbakti. Ternyata ibu tidak sia-sia melahirkan dan membesarkan kalian hingga bisa membuat ibu bahagia sepenuhnya”. Aku ingin meneteskan air mata mendengar kalimat yang dilontarkan ibu padaku.

Hembusan angin dan rangkaian warna senyuman dihiasi bintang-bintang kecil warnai malam itu. Ibu sudah terlelap. Ayah yang lagi tertidur pulas. Kakak dan adik pun telah menggapai mimpinya. Tapi aku belum juga bisa memejamkan mataku. Aku duduk dan memandangi langit. Betapa besar kuasa Tuhan menciptakan dunia ini. Hanya selebar daun kelor dan miliyaran. Bahkan, tak bisa terhitungkan nyawa yang ada di muka bumi ini, termasuk keluarga kami. Songgahan ranting warna kehidupan kami yang begitu banyak dihinggapi masalah. Namun, itu semua bisa terselesaikan dengan kesabaran dan iringan doa kami.

Keesokan harinya, suara kicauan burung terdengar di relung-relung dan tiap sudut kampungku. Aku bangkit dari tempat tidur dan langsung menuju ke pembaringan ibu untuk melihat keadannya. Aku kaget. Aku tidak mendapati ibu di atas tempat tidurnya. Aku berlari keluar menuju dapur. Di sana, aku melihat ibu sedang menyiapkan makanan. Akupun mendekati ibu dan berkata “Ibu belum bisa bekerja. Ibu belum pulih sepenuhnya” ibupun menjawab “Nak, ini berkat doa yang kalian panjatkan itu terdengar oleh Tuhan Yang Maha Esa”. Aku menjawab, “Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah karena ibuku telah sehat kembali”. Kakak, adik dan ayah juga bersyukur atas kesembuhan ibu.

***

Hujan deras kian mengguyur kota kami. Berselang satu minggu berjalan, terlintaslah dalam benakku pertanyaan-pertanyaan yang belum mampu kujawab. Pertanyaan yang kini menggorogoti pikiranku. “Ke mana aku melanjutkan pendidikanku? Dan....., sanggupkah orang tuaku membiayai kuliahku kelak? Sementara adik-adikku pun harus tetap melanjutkan pendidikannya. Ya Allah, tolonglah hamba-Mu ini!” Namun tekadku tetap bulat. Aku sendiri yang harus menjawab pertayaan-pertanyaan itu dengan kesungguhan dan niat yang tulus.

Seruan adzan maghrib berkumandan dari beberapa mesjid dekat rumahku. Hampir bersamaan. Kami sekeluarga melaksanakan shalat maghrib secara berjamaah yang memang telah menjadi rutinitas dalam keluarga kami. Seusai mendirikan shalat maghrib dengan iringan doa yang dilantunkan untuk keselamatan keluarga kami. Aku dan saudaraku yang lain bersalam-salaman dengan ayah dan ibu. Meneriakkan suasana kebahagiaan dengan lemparan-lemparan senyuman manis. Akupun mendekati ibu dan mengutarakan keinginanku untuk melanjutkan pendidikan. “Bu, aku ingin kuliah. Sudah dua tahun setengah aku menganggur. Mungkin sudah saatnya aku melanjutkan pendidikanku. Itupun kalau ibu mempunyai kesanggupan membiayai kuliahku”. Dengan sedikit senyum menawan yang disunggingkan ibu padaku, aku yakin ibu pasti mengizinkan aku mendaftar di perguruan tinggi tahun ini. “Ia nak. Ibu sangat bangga kalau kamu mau melanjutkan pendidikanmu. Ibu minta maaf kalau dulu sesudah tamat SMA, kau tidak sempat melanjutkan sekolahmu karena masih ada saudaramu yang ingin bersekolah. Jadi, dengan sangat terpaksa kamu harus menganggur. Dua setengah tahun ini ibu mengumpulkan uang untuk biaya sekolahmu dan adik-adikmu walaupun hasil penjualan ibu tidak terlalu banyak. Tetapi ibu yakin, itu bisa mencukupi kebutuhan dan uang belanja yang diperlukan di kemudian hari. Ibu hanya berpesan agar kamu bersungguh-sungguh belajar jika kelak kamu sudah duduk di bangku kuliah. Ya, sudah! Kamu cari informasi dulu, kapan ada pendaftaran mahasiswa baru sesuai dengan kemampuanmu dan jurusan yang cocok buat kamu, Nak” kata ibu sambil memegang pundakku. “Terima kasih banyak ibu. Kesempatan ini akan kumanfaatkan dengan sebaik-baiknya agar menjadi anak yang berguna untuk ayah dan ibu. Pesan ibu akan selalu kuingat” kataku dengan wajah yang berseri-seri dan air mata bahagia.

***

Langit cerah dengan warnanya yang biru begitu indah. Bentuk awan yang begitu sempurna kian mencolek di benakku. Hari ini, hari pertama pendaftaran mahasiswa baru di Universitas Muhammadiyah Makassar. Aku akan berangkat ke Makassar pagi-pagi. Aku berjalan menuju warung tempat ayah dan ibu bekerja.

“Bu! Hari ini pendaftaran mahasiswa di Unismuh sudah terbuka. Bagaimana bu?”

“Nak, kamu bisa berangkat ke Makassar hari ini juga. Ibu akan memberikan sedikit biaya untuk pendaftaran formulir dan urusan-urusan lainnya” kata ibu.

“Iya bu! Ayah, aku mohon doa restunya. Semoga langkah awal untuk melanjutkan sekolahku berjalan lancar dan baik”

“Iya!” Akupun pamit pada kedua orang tuaku. Aku berangkat dengan sebuah harapan untuk bisa kuliah.

Setelah menempuh perjalanan selama dua jam, akhirnya aku tiba di sebuah kampus yang dikenal dengan nama kampus biru. Di depan pintu gerbang tertulis jelas “Universita Muhammadiyah Makassar”. “Sebentar lagi aku akan menjadi mahasiswa di kampus ini” gumamku. Sinar matahari yang begitu terik membuat perutku bernyanyi dan meminta sesuap makanan. Tanpa mempedulikannya, aku langsung mencari tempat pengambilan formulir mahasiswa baru. “Aku lulus”.

***

Rentetan waktu terus berjalan dan kian mencekam. Suka duka kurasakan hidup di kampung orang. Aku harus menjalani hidup dengan tinggal di sebuah kost di jalan dr. Ratulangi dengan biaya hampir satu juta untuk menyewa satu kamar saja. Setiap hari aku harus menyiapkan makanan untuk sarapan pagi kemudian berangkat ke kampus menumpangi pete-pete. Dengan wajah yang sedikit kaget aku melihat ribuan mahasiswa dan mahasiswi telah memenuhi kampus. Lelah juga memulai menjadi mahasiswa. Bayangkan saja, rasa capek ditambah haus dan lapar datang menderu hanya untuk mengurus segala yang dipersiapkan untuk memasuki bangku perkuliahan.

Di hari pertama kuliah perdana, aku memasuki ruangan untuk Bahasa Indonesia kelas I E. Dari sinilah aku melihat suasana orang yang sedang kuliah. Tidak begitu berbeda dengan keadaan waktu masih sekolah dulu. Ternyata beginilah rasanya orang kuliah. Banyak juga teman-teman sekelas yang berasal dari daerah yang berbeda-beda. Hampir semuanya ramah-ramah. Meski masih ada yang cuek-cuek saja. Mungkin karena belum saling mengenal saja.

Saat ini aku hanya memikirkan satu hal saja. Melaksanakan pesan ibu yang diamanahkan padaku sebelum aku menginjakkan kaki di kampus ini. Kuliah dengan sungguh-sungguh agar kelak dapat berhasil dan lulus dengan sebuah prestasi. Aku ingin menjadi anak yang berguna bagi orang tua dan mampu membahagiakan keluarga. Membalas pahit manis pengorbanan orang tua dan keluargaku. Aku mencintai Tuhan. Aku mencintai kedua orang tuaku. Aku mencintai keluargaku. Aku mencintai kekasihku dan mencintai sahabat-sahabatku. ###



Makassar, 8 Februari 2010

Dipetik dari kumpulan Cerpen dan Puisi Enam Mata Badik (IPASS FKIP UNISMUH MAKASSAR)

Menanti di Bawah Pohon Jati

Oleh: Sudianto Asram “Ian’K



Siang itu mentari begitu terik. Dengan iringan lagu Ana’ Kukang dari hape milikku, ingin kutulis semua unek-unek yang bertumpuk dalam batok kepalaku. Semuanya kutumpahkan dalam sebuah cerpen. Tapi, tiba-tiba suara tangis dari luar rumah mengagetkanku. Tangisan pilu itu membuatku berhenti menggoyangkan tanganku dari papan komputer. Aku tersentak. Diam. Kucoba mengintip di balik jendela kamarku, namun aku tak melihat siapa pun di luar sana. Aku hanya melihat sebatang pohon yang tumbuh tak jauh dari tempat tinggalku. Yah, sekitar dua puluh meter dari kamarku. Meski sudah tak berdaun, pohon itu masih berdiri kokoh. Pohon itu pasti sudah berumur puluhan tahun karena batangnya yang memang sudah tak muda lagi.

Kukerutkan keningku dan perlahan kembali ke depan komputer yang selalu setia menemaniku. Kunyalakan sebatang rokok LA Lights dan mengisapnya dalam-dalam hingga kepulan asap pun memenuhi kamarku yang mungil. Imajiku kembali mencoba menjelajah. Namun, belum sempat kuterawangkan pikiranku, tangisan itu kembali menari pada gendang telinga-ku. Konsentrasiku pun buyar. Kucoba mencari tahu sumber suara tadi. Lima menit, sepuluh menit berlalu. isak itu seolah terkubur bersama sepi. Yah, suara itu tak terdengar lagi. Rasa penasaranku kian memburu nafasku yang mulai tak beraturan. Rasa takut! Mungkin iya atau mungkin juga tidak. Dari mana asal tangisan itu? tanyaku dalam hati.

Jam telah menunjukkan pukul 13.30. Cahaya mentari masih memanggang bumi. Suasana di sekitar tempat tinggalku begitu sepi. Penghuni rumah sebelah pasti sedang terpulas atau mungkin juga belum pulang kuliah. Aku belum beranjak dari tempat dudukku. Kubalikkan tubuhku hendak mem-bangunkan Kudus yang sedang tidur di atas kasur yang sudah mulai membatu, tapi niat itu kuurungkan. Beberapa menit berlalu, suara tadi terdengar lagi tapi kali ini terdengar agak jauh.

Siapa yang menangis di luar sana? gumamku.

Kembali kudekatkan kelopak mataku ke jendela dengan harap bisa melihat asal suara itu. Namun, lagi-lagi aku terkejut. Kali ini bukan dari suara aneh tadi. Tapi, Kudus yang baru saja terbagun dari lelapnya mengagetkanku.

He…..! Apa yang sedang kamu lakukan? tanya Kudus dengan logat Ambonnya yang sangat kental.

Dengan gerakan refleks, aku langsung membalikkan tubuhku yang tinggal tulang terbalut sedikit daging.

Ah, kamu! kataku.

Kenapa kamu mengintip di jendela? Memang, ada apa di luar sana? tanyanya lagi.

Tidak ada. Aku cuma heran, siapa yang menangis di luar sana?

Kamu ada-ada saja. Dari tadi aku tak mendengar apa-apa. Ia membantah perkataanku sambil berjalan ke arah pintu kamar. Kudus pasti ke kamar kecil. Sudah menjadi kebiasaannya, bangun tidur langsung ke kamar kecil.

Ah, Kudus tidak mungkin mendengar tangisan tadi, iakan lagi tidur. Sudahlah! Aku mencoba meyakinkan diriku. Kutarik nafas dalam-dalam dan mencoba menenangkan pikiranku yang kelelahan karena beberapa hari aku tidak pernah tidur di siang hari, bahkan pada malam hari. Aku hanya menghabiskan waktuku di depan sebuah komputer tua yang kubeli dua tahun lalu dari seorang teman.

Kucoba untuk tidak terpengaruh oleh suara-suara aneh yang mungkin saja hanya halusinasiku. Namun, lagi-lagi aku tak bisa berkonsentrasi. Aku tiba-tiba saja teringat pada cerita teman sekostku, Indra. Dua minggu sebelum Indra pindah kost juga pernah mendengar hal yang sama seperti apa yang aku dengar siang ini.

Kejadian itu terjadi tepat sebulan yang lalu. Saat pulang dari acara musyawarah besar jurusannya di kampus sekitar pukul 14.00, Indra yang biasa pulang sendiri tiba-tiba saja mendengar suara aneh dari balik pohon di depan kostnya. Suara itu persis sama dengan suara yang kudengar siang ini. Karena kaget, Indra dengan sedikit berlari langsung memasuki rumah kost yang dihuni sebelas orang. Kemudian ia mengintip dari jendela kamarnya yang kebetulan bersebelahan dengan kamar yang aku tempati sekarang. Indra mencoba melihat ke luar. Namun, pandangannya tak menjumpai siapa pun. Hanya suara itu yang terdengar. Berulang kali hingga matahari kembali ke peraduannya. Karena kelelahan dan sumber tangisan tak ia lihat, Indra akhirnya tertidur.

***

Malam sebentar lagi menunjukkan kegelapannya. Alunan ayat-ayat Al Qur’an membahana dari mesjid di lorong sebelah yang terletak tidak jauh dari kontrakan Indra. Indra pun terbangun. Setelah mencuci muka dan minum segelas air putih, ia kembali mengintip di balik jendela. Isak itu tidak terdengar lagi. Dengan rasa penasaran yang masih menjelajah di batok kepalanya, Indra memberanikan diri keluar rumah dan mendekati pohon jati yang sudah tak berdaun itu. Ia ingin tahu siapa yang menangis di balik pohon itu.

Sekitar dua meter dari pohon itu, ia menghentikan langkahnya. Perasaan ragu dan was-was kini menghampirinya. Lama juga ia berdiri di tempatnya. Setelah menarik nafas panjang, Indra melanjutkan langkahnya dengan pelan. Beberapa kali mengelilingi pohon itu, ia tak menemukan siapa-siapa di sana. Yang ia temukan hanya sepotong kain berwarna putih yang sudah berubah warna menjadi kecoklat-coklatan.

Mungkin kain ini milik orang yang sejak siang tadi menangis. Tapi, ke mana orang itu? Katanya dalam hati.

***

Rasa penasaranku kian menjadi setelah mengingat pengalaman yang pernah dialami Indra. Sampai-sampai aku tak menyadari jika Kudus sudah kembali ke kamar dan melanjutkan tidurnya. Pikiranku pun mulai tak beraturan. Ah, jangan-jangan suara itu adalah suara penghuni pohon jati itu, kataku dalam hati. Isak tangis itu masih sesekali terdengar. Kugaruk kepalaku yang tidak gatal. Lebih baik aku mencari tahu suara siapa itu. Dan mudah-mudahan saja, selendang yang dimaksud Indra juga bisa aku temukan. Bisikan nuraniku membekaliku sedikit keyakinan.

Dengan keberanian yang aku miliki, aku mencoba mendekati sumber tangisan itu. Tepatnya di belakang pohon jati tua itu. Mendekat dan kian mendekatinya. Kulihat sosok perempuan sedang duduk di bawahnya. Tangan kanannya memegang sehelai kain, seperti selendang. Aku yakin kain itu yang pernah Indra ceritakan padaku. Perlahan aku mendekati-nya, tapi ia tak bergerak atau menoleh kepadaku.

Apakah ia tak mendengar langkah kakiku? Ataukah ia memang tak merasakan kehadiranku? Kepalaku kini dipenuhi tanda tanya. Tanya yang tak menuai jawab.

Aku tetap melangkah mendekatinya dan semakin dekat. Kini aku berdiri di sampingnya. Aku terdiam. Aku memperhatikannya menatap sehelai selendang usang yang digenggamnya. Kedua pipinya tampak basah. Mungkin karena menangis. Yah, aku yakin ia menangis. Suara tangisan perempuan ini yang aku dengar. Tangisan lara yang amat memilukan. Tangisan yang membuatku tak bisa berkonsentra-si menyelesaikan luapan unek-unekku. Pertanyaan dalam benakku pun kian sesak. Apa yang ditangisi perempuan ini? tanyaku dalam hati.

Mengapa engkau menangis di bawah pohon ini? tanyaku pada perempuan itu. Namun, perempuan itu tak menjawab pertanyaanku. Dia masih terus meneteskan air mata. Bahkan semakin keras. Aku jadi bingung sendiri. Apa yang harus aku lakukan agar perempuan ini berhenti menangis? gumamku.

Aku berusaha berpikir keras mencari tahu apa yang ditangisi perempuan ini. Siapa tahu aku bisa membantunya. Meski aku sendiri belum tahu apa yang membuatnya menangis.

Mengapa engkau menangis? tanyaku lagi.

Rupanya perempuan itu mulai menyadari kehadiran-ku. Ia menatapku kosong. Entah apa yang ia pikirkan. Tapi tak satu kata pun yang ia lontarkan. Hanya tatapan matanya yang seolah membisikkan apa yang membuat ia menangis.

Apa yang membuatmu menangis? Untuk yang ketiga kali-nya, aku mengulang pertanyaanku.

Semua telah pergi, jauh. Tak ada lagi yang tersisa. Semuanya sirna.

Akhirnya, bibir perempuan itu berucap juga. Aku mulai sedikit lega. Kutarik nafas dalam-dalam untuk meng-hilangkan rasa tegang yang mendekapku.

Siapa yang pergi? tanyaku dengan lembut.

Dia.. .. .. .. !!!

Dia siapa?

Orang yang paling aku sayangi. Lelaki yang selalu aku tunggu menemuiku di tempat ini. Di bawah pohon ini. Katanya seraya menundukkan kepala, kemudian ia menangis lagi.

Siapa lelaki itu? Dan mengapa harus di bawah pohon jati ini? Aku kian penasaran dan ingin segera tahu siapa yang membuat perempuan ini menangis. Namun, perempuan itu tak langsung menjawab. Dipandanginya selendang usang di tangan kanan-nya, lalu ia menangis lagi. Aku mulai merasa iba padanya.

Darsan. Lelaki yang kucintai dengan sepenuh jiwa dan ragaku. Lelaki itu yang aku tunggu di bawah pohon ini. Dia juga yang membuatku meneteskan air mata.

Aku hanya menjadi penyimak yang baik, seperti mendengar penjelasan dari dosen. Karena aku belum mengerti apa yang menimpa perempuan ini.

Ada apa dengan Darsan? Tanyaku seolah kenal dengan Darsan yang ia maksud. Meski aku tak pernah mengenal lelaki yang dicintainya itu.

Lima tahun lalu, aku jatuh cinta pada seorang lelaki. Dialah Darsan. Lelaki yang tak segaja bertemu denganku di sebuah acara pernikahan salah seorang keluargaku adalah awal dari semua yang kualami. Ternyata Darsan juga memiliki perasaan yang sama denganku, hingga aku dan dia memutuskan untuk menjalin kasih. Kami saling mencintai. Kami selalu memandang matahari yang tenggelam dari tempat ini. Yah, di bawah pohon inilah kami biasa menghabiskan waktu melukis langit dengan canda dan tawa. Di tempat ini pulalah Darsan memberikan selendang ini pada hari ulang tahunku, dimana aku saat itu berusia 22 tahun. Aku sangat bahagia berada di sisinya. Begitu indah hingga rasa cintaku semakin dalam padanya. Tapi, itu hanya berlangsung dua tahun, sedangkan tahun ketiga sampai detik ini, kebahagiaan itu tak pernah lagi ada. Darsan meninggalkan cintaku di sini. Meninggalkan kenangan yang pernah kami jalani. Dia meninggalkanku tanpa pamit. Dia tak pernah mengabariku tentang keberadaannya. Entah dimana dia berada saat ini. Aku merindukannya. Karena rasa cintaku padanya, aku selalu duduk di tempat ini sampai malam tenggelamkan rona merah di ufuk sana. Menagis, menangis, dan menangis. Hanya itu yang bisa aku lakukan, sebab keluarganya tak pernah setuju dengan hubungan kami. Aku pasrah dengan nasib yang aku alami. Aku selalu berdoa pada Tuhan dan berharap Dia mengembalikan Darsan padaku.

Tak terasa cairan bening di kedua pipinya kembali mengalir. Aku seolah merasakan penderitaan yang dialami perempuan itu. Tuhan, berikan perempuan ini ketabahan dalam menjalani hidupnya. Pertemukan dia dengan orang yang sangat dicintainya.

Malam telah bertahta di bumi. Lampu-lampu jalan di sekitar tempat tinggalku memancarkan cahayanya. Nampak indah. Namun aku tak bisa merasakan gemerlapnya malam karena masih terpikir dengan apa yang dialami perempuan yang kutemui sore tadi. Ke mana rimbanya sang kekasih yang sangat dicintainya?

***

Sejak sore itu, aku selalu menemuinya dan memberi-nya semangat agar ia tegar menghadapi masalahnya meski aku sendiri tidak mengenalnya. Namanya siapa. Tempat tinggalnya di mana. Dan siapa orang tuanya. Aku hanya mengikuti perasaan tak tega melihat ia menangis dan meratap setiap hari. Aku harus bisa membuatnya tertawa. Sebab aku tidak melihat ketegaran di parasnya. Yang kulihat hanya kesedihan yang amat dalam. Dan lagi-lagi, entah bisikan apa yang mendorongku untuk melakukan hal itu. Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja rasa iba merasukiku. Hingga aku pun bertekad menghiburnya. Mengajaknya bercanda dan kembali menikmati hidup yang begitu indah. Aku berharap perempuan itu tak lagi meneteskan butiran bening dari kelopak matanya.

Perlahan aku pun bisa membuatnya tersenyum. Aku bisa membuatnya tertawa dan tidak terlalu larut dalam kesedihannya. Aku selalu berpesan kepadanya untuk tidak terlalu memikirkan apa yang menimpanya. Kau harus tahu, terkadang Tuhan tidak memberikan apa yang kita minta, tetapi Dia akan memberikan apa yang kita butuhkan. Bukan kita yang menentukan hidup kita. Kita hanya berencana dan Tuhan yang punya kehendak. Yakinlah bahwa di balik semua ini, Tuhan telah mengatur sesuatu yang terbaik untukmu.

***

Waktu berlalu. Tak terasa memang. Kesibukan membuatku terkadang tak bisa menemuinya seperti hari-hari sebelumnya. Kini aku hanya bisa menemuinya sekali dalam seminggu. Bahkan pernah hanya sekali sebulan aku bertemu dengannya. Hingga pada suatu waktu, aku istirahat dari segala aktivitasku. Aku libur.

Senja sebentar lagi terbangun dari lelapnya. Sore itu aku berniat ingin menemuinya. Namun, perempuan itu tak juga muncul hingga gelap menutupi separuh permukaan bumi. Ke mana perempuan itu? Apakah ia telah bertemu dengan orang yang dinantinya, Darsan? Tanyaku dalam hati.

Detik, menit berganti jam dan jam pun berganti hari. Begitupun hari terus berlari berganti minggu. Namun, aku tak lagi menemukan perempuan itu duduk menanti sang pujaan hati yang rimbanya tak meninggalkan jejak. Dan entah mengapa, tiba-tiba aku ingin menemuinya seperti hari-hari yang telah lalu. Tapi di mana? Namanya saja aku tidak tahu. Lalu, ke mana aku mencari alamatnya. Aku harus bertanya pada siapa? Apa aku harus mencarinya di setiap sudut kota ini? Ah, rasanya tidak mungkin.

Pertanyaan demi pertanyaan mengisi kepalaku yang telah sesak dengan masalah akademik. Pertanyaan yang tak kunjung menemui jawab. Pertanyaan yang menggunung dalam kepalaku. Hingga suatu hari, saat matahari sebentar lagi terlelap. Aku berencana ke tempat kost sahabatku, Kudus. Bagiku, letaknya tak jauh dari tempat tinggalku. Hanya sekitar satu kilometer atau lebih. Seperti biasa, aku hanya berjalan kaki. Tapi, kadang juga memakai sepeda butut peninggalan kakekku. Langkahku menapaki jalan tanpa aspal dan dipenuhi debu yang beterbangan ke manapun angin membawanya dan hinggap di mana saja. Aku terus melangkah seraya berpikir dan mencari cara untuk bisa menemukan alamat perempuan yang tak kukenal asal-usulnya. Saat aku melangkahkan kakiku di antara orang-orang berpakaian serba hitam, aku seperti tertampar. Entah apa yang terjadi. Apakah ini pertanda akan terjadi sesuatu? Ataukah sesuatu telah terjadi? Tapi apa? Karena penasaran dengan sekumpulan orang-orang tadi, aku mendekat dan iseng bertanya.

Siapa yang meninggal? Tanyaku pada seorang perempuan setengah baya yang sedang duduk terisak sendu.

Anti, jawabnya singkat.

Aku mengerutkan keningku. Anti itu siapa? Tanpa bertanya lagi, perempuan itu kemudian melanjutkan perkata-annya. Perempuan itu menceritakan kisah Anti semasa hidupnya sampai ia di panggil oleh Sang Khalik. Aku serasa berada di alam mimpi. Seolah tak percaya dengan cerita perempuan itu.

Hingga akhirnya pertanyaan-pertanyaan yang selalu muncul dalam benakku terjawab sudah. Perempuan yang kutemui beberapa bulan lalu duduk dan menangis di bawah pohon jati itu bernama Anti. Dan kini, ia telah menghembus-kan nafas terakhir karena penyakit yang telah lama di-deritanya. Cinta terhadap kekasih yang raib tanpa pamit terkubur bersama jasadnya. Penantiannya di dunia telah berakhir untuk selamanya. ###



Muhajirin, 22 Juni 2009

Kuselesaikan saat Makassar sedang tertidur pulas